Pada kasus kejahatan, tentu normalnya kita harus membela korban dan menuntut pelaku diganjar hukuman seadil-adilnya. Namun terdapat fenomena yang marak terjadi di mana korban malah mendapat desakan dan pandangan negatif, atau victim blaming.
Victim blaming atau menyalahkan korban adalah tindakan merendahkan korban kejahatan atau kecelakaan dengan cara turut menuntut korban bertanggung jawab atas seluruh atau sebagian kejahatan yang menimpa mereka. Victim blaming ini paling sering terjadi pada kasus pelecehan seksual, di mana orang-orang justru menyalahkan korban. Contohnya karena pakaian, perilaku, atau mengapa korban berada di tempat kejadian saat itu.
Victim blaming bisa dilakukan siapapun, mulai dari masyarakat umum, media, bahkan orang terdekat. Tak jarang victim blaming justru dilakukan oleh profesional hukum, tenaga medis, hingga profesional kesehatan mental. Ini bisa terjadi akibat adanya kesalahpahaman yang membuat masyarakat percaya bahwa korban pantas mengalami peristiwa buruk yang menimpanya.
Kondisi ini bisa menjadi hal yang menyulitkan bagi para korban apabila mereka dipersalahkan atas kejahatan yang menimpa dirinya.
Faktor psikologis terjadinya victim blaming adalah rasa abai terhadap kondisi orang lain. Ditambah lagi dengan perasaan superior yang membuat seseorang cenderung merasa kurang empati dengan apa yang dialami orang lain.
Secara spesifik, psikolog meyakini tendensi victim blaming adalah suatu paradoks. Yaitu perwujudan kebutuhan mendasar manusia bahwa dunia ini adalah tempat yang baik. Untuk membuatnya terwujud, perlu ada alasan yang masuk akal terhadap semua yang terjadi di sekitar.
Victim blaming juga termasuk bentuk pertahanan psikologis orang lain terhadap kasus kemalangan yang menimpa orang lain. Dengan victim blaming orang akan merasa kejadian buruk tidak akan terjadi pada mereka, karena mereka berbuat lebih baik dibandingkan korban kejahatan yang mereka salahkan.
Bagaimana Victim Blaming Dilakukan
Victim blaming biasanya terjadi dalam bentuk anggapan jika korban seharusnya bisa menghindar dari pelaku, sehingga kasus kejahatan seharusnya tidak terjadi. Bisa juga dilakukan oleh orang-orang berpandangan menghakimi karena menganggap korban berperilaku tidak baik, kemudian menganggap kemalangan yang terjadi sudah sepantasnya karena korban sendiri yang mengundang orang berbuat jahat.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada victim blaming misalnya:
- “Kenapa Anda malam-malam berada di sana dan berpakaian tidak tertutup?”
- “Harusnya Anda bisa berteriak memanggil warga sekitar, kan?”
- “Mengapa baru melaporkan kasus ini setelah beberapa minggu?”
- “Kenapa Anda tidak melawan saat kejadian?”
Pertanyaan-pertanyaan ini bisa mengundang asumsi yang berbeda, bahkan membuat korban dipandang turut bersalah karena tidak bisa membela diri. Tidak jarang sorotan ini justru diberikan pada korban, kemudian pelaku malah diabaikan dan akhirnya kasus tidak bisa tertangani dengan maksimal.
Dampak Victim Blaming
Dampak yang paling berat dari victim blaming adalah kepada korban dari kasus tersebut. Mental korban bisa semakin terpuruk dan akhirnya percaya jika kemalangan yang menimpanya adalah kesalahannya, atau merasa pantas mendapatkan tindakan tersebut. Korban akan semakin tersudut dan takut untuk bicara kebenaran.
Efek lainnya adalah orang-orang akan memandang kasus tersebut tidak objektif karena terpengaruh anggapan jika korban juga bersalah. Karena terlalu fokus menyalahkan korban, dampak dari tindakan kriminal justru disepelekan dan pelaku tidak mendapatkan hukuman yang seharusnya.
Victim blaming bisa mengaburkan kekuatan hukum, menyebabkan tindak kejahatan tidak dipandang dengan objektif sehingga korban tidak mendapat keadilan yang semestinya. Bahkan bisa jadi korbanlah yang mendapat hukuman berupa disudutkan orang-orang, dikucilkan, dan disepelekan.